Sejarah Taman Nasional Gunung Maras
Sejarah Taman Nasional Gunung Maras
Taman Nasional Gunung Maras, yang terletak di Kabupaten Bangka dan sebagian kecil di Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, merupakan kawasan konservasi yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.576/MENLHK/SETJEN/PLA.2/7/2016 pada tanggal 27 Juli 2016. Dengan luas 16.806,91 hektar, taman nasional ini mencakup ekosistem hutan primer daratan, perbukitan, dan mangrove, termasuk lanskap Gunung Maras—bukit tertinggi di Pulau Bangka dengan ketinggian sekitar 705 meter di atas permukaan laut. Sejarah pembentukan taman nasional ini tidak hanya mencerminkan upaya pelestarian keanekaragaman hayati, tetapi juga perjuangan masyarakat adat, terutama Suku Maras, dalam menjaga wilayah adat mereka dari ancaman aktivitas ekonomi ekstraktif. Berikut adalah sejarah lengkap dan resmi Taman Nasional Gunung Maras.
Latar Belakang Historis dan Nilai Adat
Gunung Maras telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat adat di Pulau Bangka, khususnya Suku Maras, Suku Mapur (Orang Lom), dan Suku Jerieng, yang menganggap wilayah ini sebagai kawasan suci. Suku Maras, yang mengaku sebagai keturunan pangeran dari Kesultanan Banten, telah mendiami dan menjaga lanskap Gunung Maras selama beberapa abad, sejak masa Kesultanan Palembang hingga pemerintahan kolonial Belanda. Selama periode ini, wilayah Gunung Maras relatif terbebas dari aktivitas penambangan timah yang dilakukan oleh Kesultanan Palembang dan Belanda, sebagian besar karena nilai sakralnya bagi masyarakat adat dan kearifan lokal yang melarang eksploitasi berlebihan.
Menurut tokoh Suku Maras, Umran, wilayah Gunung Maras telah menjadi rumah bagi berbagai makhluk hidup, termasuk flora dan fauna, sejak kedatangan leluhur mereka dari Banten berabad-abad lalu. Masyarakat adat memiliki aturan adat yang ketat, seperti larangan melakukan perbuatan asusila, membuat api unggun di gunung, atau merusak vegetasi, yang turut menjaga kelestarian ekosistem. Hutan adat di wilayah seperti Bukit Tukak, yang disepakati pada 1980 sebagai kawasan lindung oleh masyarakat Desa Pangkal Niur, menjadi bukti komitmen masyarakat adat dalam pelestarian lingkungan sebelum penetapan taman nasional.
Ancaman terhadap Lanskap Gunung Maras
Sejak tahun 1970-an, lanskap Gunung Maras mulai menghadapi ancaman kerusakan akibat aktivitas ekonomi ekstraktif. Perkebunan sawit mulai muncul di kaki gunung dan wilayah perbukitan pada akhir 1990-an, meskipun sebagian besar dilakukan oleh masyarakat setempat dan bukan perusahaan besar. Penambangan timah ilegal, terutama di wilayah pesisir seperti Teluk Kelabat Dalam, juga menyebabkan kerusakan signifikan pada ekosistem mangrove, diperparah oleh tumpahan minyak pada 1970-an yang mematikan banyak vegetasi mangrove di sekitar Sungai Semubur dan Dusun Pangkal Niur. Selain itu, penebangan liar untuk kayu dan pembukaan lahan pertanian, seperti kebun karet dan lada, turut mengurangi luas hutan primer di kawasan ini.
Pada 2012, ancaman semakin nyata dengan rencana PT. Gemilang Cahaya Mentari (GCM) untuk membuka perkebunan sawit seluas 300 hektar di Hutan Desa Pangkal Niur, Bukit Tukak. Rencana ini ditolak keras oleh masyarakat melalui voting yang melibatkan 1.000 kepala keluarga, yang menegaskan bahwa hutan tersebut merupakan hutan adat yang dilindungi berdasarkan kesepakatan 1980 antara masyarakat Kepayang Kelong, Canun, dan Terap. Perjuangan Suku Maras dan masyarakat adat lainnya, termasuk melalui Forum Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam (FNPTKD), menjadi pendorong kuat untuk melindungi wilayah ini dari kerusakan lebih lanjut.
Proses Penetapan sebagai Taman Nasional
Pada awal 2000-an, meningkatnya tekanan terhadap ekosistem Gunung Maras mendorong pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi dan organisasi lingkungan, untuk mengusulkan status kawasan konservasi. Penelitian oleh Universitas Bangka Belitung dan Balai KSDA Sumatera Selatan menunjukkan bahwa Taman Nasional Gunung Maras memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan 53 spesies pohon seperti pelawan (Tristaniopsis sp.), meranti (Shorea sp.), dan kantong semar (Nepenthes sp.), serta satwa dilindungi seperti mentilin (Tarsius bancanus), trenggiling (Manis javanica), dan lutung (Trachypithecus auratus). Kawasan ini juga menjadi sumber air bagi delapan desa, yaitu Desa Berbura, Bukit Layang, Mabat, Bakam, Dalil, Tiang Tara, Banyuasin, dan Pangkal Niur, menjadikannya “oase” Pulau Bangka.
Pada 27 Juli 2016, melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.576/MENLHK/SETJEN/PLA.2/7/2016, Gunung Maras resmi ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Maras. Keputusan ini mencakup pembagian kawasan menjadi lima zona: zona inti (526,48 hektar), zona rimba (4.453,52 hektar), zona pemanfaatan (1.505,22 hektar), zona khusus (315,89 hektar), dan zona rehabilitasi (10.005,80 hektar). Pengelolaan awal dilakukan oleh Balai KSDA Sumatera Selatan sambil menunggu pembentukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Nasional Gunung Maras. Penetapan ini mendapat dukungan kuat dari masyarakat adat, yang melihatnya sebagai langkah untuk melindungi wilayah adat mereka dari ancaman perkebunan sawit, penambangan timah, dan penebangan liar.
Perkembangan Pasca-Penetapan
Setelah ditetapkan sebagai taman nasional, pengelolaan Taman Nasional Gunung Maras fokus pada pelestarian keanekaragaman hayati, restorasi ekosistem, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Program restorasi mangrove di Teluk Kelabat Dalam, yang dipimpin oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), melibatkan masyarakat dari Desa Pangkal Niur, Berbura, Riding Panjang, dan Tuik untuk menanam spesies seperti perepat guna mencegah serangan teripit. Pada 2021, Dialog Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) yang diadakan di Bangka menegaskan pentingnya taman nasional ini sebagai “laboratorium alam” dan “perpustakaan lingkungan hidup” untuk penelitian dan pendidikan.
Sosialisasi pada 15 September 2022 di Desa Berbura oleh Resor Konservasi Wilayah XVI Bangka memperkenalkan kemitraan konservasi berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal KSDAE Nomor P.06/KSDAE/SETJEN/Kum.1/6/2018. Kegiatan ini melibatkan masyarakat, Babinsa, Bhabinkamtibmas, dan petugas Manggala Agni untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya Taman Nasional Gunung Maras dan mendorong pemulihan ekosistem melalui kemitraan dengan masyarakat lokal. Selain itu, larangan adat, seperti tidak bersiul atau membawa bahan makanan tertentu (ketan, telur bebek, pisang) saat pendakian, tetap ditegakkan untuk menghormati nilai budaya Suku Maras.
Tantangan dan Upaya Berkelanjutan
Meskipun telah ditetapkan sebagai taman nasional, Taman Nasional Gunung Maras masih menghadapi tantangan, seperti kebakaran hutan pada musim kemarau, perkebunan sawit yang sudah ada sebelum penetapan, dan penambangan timah ilegal di wilayah pesisir. Upaya pencegahan kebakaran dilakukan melalui patroli rutin dan sosialisasi oleh petugas Balai KSDA Sumatera Selatan bersama Manggala Agni. Selain itu, kemitraan dengan masyarakat adat dan kelompok lokal, seperti Kelompok Teluk Kelabat Lestari, terus diperkuat untuk mendukung restorasi ekosistem dan pengelolaan wisata alam yang berkelanjutan.
Sejarah Taman Nasional Gunung Maras mencerminkan perjalanan panjang dari wilayah adat yang disucikan oleh Suku Maras hingga menjadi kawasan konservasi nasional yang diakui secara resmi pada 27 Juli 2016. Penetapan ini merupakan hasil dari perjuangan masyarakat adat melawan ancaman perkebunan sawit, penambangan timah ilegal, dan penebangan liar, serta dukungan dari pemerintah dan pemangku kepentingan untuk melindungi keanekaragaman hayati dan sumber air Pulau Bangka. Dengan pengelolaan yang melibatkan masyarakat lokal, akademisi, dan pemerintah, Taman Nasional Gunung Maras terus berperan sebagai “oase” Pulau Bangka, menjaga ekosistem, budaya adat, dan warisan alam untuk generasi mendatang.