Pengertian Konservasi Taman Nasional Gunung Maras

Definisi Konservasi Taman Nasional Gunung Maras
Bayangkan sebuah hutan hijau yang menyimpan rahasia alam Pulau Bangka, tempat pohon pelawan menjulang dan mentilin kecil melompat di malam hari. Itulah Taman Nasional Gunung Maras, permata seluas 16.806,91 hektar yang resmi menjadi taman nasional pada 27 Juli 2016 melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Konservasi di sini adalah janji untuk menjaga hutan hujan tropis, perbukitan, dan mangrove tetap hidup, sembari melindungi flora dan fauna unik seperti tarsius dan tanaman pelawan. Lebih dari sekadar pelestarian, ini adalah upaya menjaga sumber air bagi delapan desa sekitar, seperti Berbura dan Dalil, serta mencegah banjir yang mengancam. Bersama masyarakat lokal, Balai KSDA Sumatera Selatan merajut keseimbangan antara alam, budaya, dan kehidupan melalui ekowisata, penelitian, dan zonasi cerdas.
Konsep Konservasi di Taman Nasional Gunung Maras
Konservasi taman nasional Gunung Maras menerapkan tiga prinsip dasar yang saling terkait:

Perlindungan Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Mengutamakan pelestarian ekosistem asli, termasuk hutan primer, mangrove, dan perbukitan, serta melindungi spesies endemik seperti pelawan merah (Tristaniopsis merguensis) dan mentilin. Upaya ini mencakup pencegahan aktivitas ilegal seperti penebangan liar dan penambangan timah untuk menjaga keaslian ekosistem.

Pemanfaatan Berkelanjutan melalui Ekowisata
Mengembangkan potensi ekowisata seperti pendakian Gunung Maras, wisata air terjun, dan pengamatan satwa dengan mematuhi aturan adat lokal, seperti larangan bersiul atau membawa ketan, untuk mendukung ekonomi masyarakat sekaligus menjaga kelestarian alam.

Kemitraan dengan Masyarakat Lokal
Melibatkan masyarakat adat seperti Suku Maras, Mapur, dan Erabik dalam pengelolaan kawasan melalui program kemitraan konservasi, sesuai Peraturan Direktur Jenderal KSDAE Nomor P.06/KSDAE/SETJEN/Kum.1/6/2018, untuk mendukung pemulihan ekosistem dan pemanfaatan sumber daya secara lestari.
Sistem Zonasi Taman Nasional Gunung Maras
Konservasi taman nasional Gunung Maras menerapkan sistem zonasi untuk mengoptimalkan fungsi perlindungan sekaligus memungkinkan pemanfaatan yang terkendali:

Zona Inti (526,48 hektar)
Kawasan dengan ekosistem asli yang dilindungi secara mutlak, bebas dari aktivitas manusia kecuali untuk penelitian terbatas. Zona ini berfokus pada pelestarian keanekaragaman hayati, seperti habitat mentilin dan flora endemik, untuk menjaga keaslian ekosistem.

Zona Rimba (4.453,52 hektar)
Berfungsi sebagai penyangga zona inti, zona ini memungkinkan aktivitas penelitian dan pendidikan dengan pengawasan ketat. Zona rimba mendukung pelestarian ekosistem dan mencegah gangguan dari aktivitas ekstraktif seperti perkebunan sawit atau penambangan.

Zona Pemanfaatan (1.505,22 hektar)
Area yang digunakan untuk ekowisata, pendidikan lingkungan, dan penelitian dengan memperhatikan daya dukung lingkungan. Aktivitas seperti pendakian dan wisata alam diatur untuk mendukung konservasi sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.
Tujuan Konservasi Taman Nasional Gunung Maras
Taman Nasional Gunung Maras, yang terletak di Kabupaten Bangka dan Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, memiliki tujuan utama melindungi keanekaragaman hayati dan menjaga fungsi ekosistem sebagai penyangga kehidupan. Kawasan seluas 16.806,91 hektar ini melindungi flora endemik seperti pohon pelawan dan kantong semar, serta satwa dilindungi seperti mentilin dan trenggiling, dari ancaman penebangan liar, perkebunan sawit, dan penambangan timah ilegal. Selain itu, taman nasional ini berperan sebagai sumber air bagi delapan desa, mendukung restorasi ekosistem mangrove, dan menjaga lanskap alam Bukit Maras yang memiliki nilai sakral bagi Suku Maras.
Konservasi Taman Nasional Gunung Maras juga bertujuan untuk mempromosikan pemanfaatan berkelanjutan melalui wisata alam, seperti pendakian dan pengamatan flora-fauna, sambil memberdayakan masyarakat lokal, khususnya Suku Maras, melalui kemitraan konservasi. Upaya ini mencakup pencegahan kebakaran hutan, rehabilitasi ekosistem yang rusak, dan pelestarian budaya adat untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam, sehingga kawasan ini tetap menjadi “oase” Pulau Bangka yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Daftar 7 Satwa Langka yang Harus Dilindungi
1. Mentilin (Tarsius bancanus)
Mentilin, atau tarsius Bangka, adalah primata kecil yang menjadi maskot Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Satwa nokturnal ini memiliki mata besar dan tubuh kecil, hidup di hutan primer dan sekunder Taman Nasional Gunung Maras. Meskipun sulit ditemukan, keberadaannya pernah tercatat pada tahun 2010 berdasarkan wawancara dengan masyarakat lokal. Mentilin terancam oleh perusakan habitat akibat perkebunan dan penambangan, sehingga perlindungan habitatnya menjadi prioritas untuk kelestarian spesies ini.
2. Kukang Bangka (Nycticebus bancanus)
Kukang Bangka adalah primata endemik Pulau Bangka yang juga dikenal sebagai slow loris. Satwa ini memiliki pergerakan lambat dan hidup di kanopi hutan. Pada Juli 2025, Alobi Foundation dan BKSDA Sumatera Selatan melepasliarkan dua ekor kukang Bangka ke Taman Nasional Gunung Maras setelah menjalani rehabilitasi. Kukang Bangka terancam oleh perburuan dan hilangnya habitat, sehingga upaya konservasi seperti pelepasliaran dan perlindungan hutan sangat penting untuk kelangsungan hidupnya.
3. Trenggiling (Manis javanica)
Trenggiling adalah mamalia bersisik yang terancam punah akibat perburuan untuk sisiknya yang digunakan dalam perdagangan ilegal. Di Taman Nasional Gunung Maras, trenggiling hidup di hutan primer dan perbukitan, memakan semut dan rayap. Perlindungan terhadap satwa ini penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, karena trenggiling membantu mengendalikan populasi serangga. Ancaman utama bagi trenggiling adalah perambahan hutan dan perdagangan satwa liar.
4. Lutung (Trachypithecus auratus)
Lutung, atau langur, adalah primata yang hidup berkelompok di hutan Taman Nasional Gunung Maras. Satwa ini memiliki bulu keemasan hingga kehitaman dan berperan dalam penyebaran biji tanaman, mendukung regenerasi hutan. Lutung terancam oleh perusakan habitat dan perburuan, sehingga konservasi kawasan hutan primer menjadi kunci untuk melindungi spesies ini.
5. Kancil (Tragulus javanicus)
Kancil, atau pelanduk, adalah mamalia kecil yang hidup di hutan dan semak belukar Taman Nasional Gunung Maras. Satwa ini berperan sebagai penyebar biji dan menjadi mangsa bagi predator alami, menjaga rantai makanan. Ancaman utama kancil adalah hilangnya habitat akibat perkebunan sawit dan penambangan, sehingga perlindungan ekosistem hutan sangat penting untuk kelestariannya.
6. Ayam Hutan (Gallus varius)
Ayam hutan adalah burung endemik yang ditemukan di hutan Taman Nasional Gunung Maras. Satwa ini memiliki peran ekologis dalam menyebarkan biji dan mengendalikan populasi serangga. Ancaman seperti perburuan dan kerusakan habitat mengurangi populasinya, sehingga perlindungan kawasan hutan dan larangan perburuan menjadi langkah penting untuk kelestarian ayam hutan.
7. Rusa Sambar (Rusa unicolor)
Rusa sambar adalah satwa yang kini sulit ditemukan di Taman Nasional Gunung Maras akibat perburuan dan hilangnya habitat. Satwa ini berperan dalam menjaga vegetasi hutan melalui pola makan dan penyebaran biji. Upaya konservasi, termasuk patroli anti-perburuan dan restorasi habitat, sangat diperlukan untuk memulihkan populasi rusa sambar di kawasan ini.
Satwa-satwa seperti mentilin, kukang Bangka, trenggiling, lutung, kancil, ayam hutan, dan rusa sambar di Taman Nasional Gunung Maras memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Ancaman seperti perambahan hutan, perkebunan sawit, penambangan timah ilegal, dan perburuan harus diatasi melalui perlindungan habitat, patroli konservasi, dan kemitraan dengan masyarakat lokal, termasuk Suku Maras, untuk memastikan kelestarian satwa ini. Dengan menjaga Taman Nasional Gunung Maras sebagai “oase” Pulau Bangka, satwa-satwa ini dapat terus hidup dan berkontribusi pada ekosistem yang sehat.