Indonesia memiliki sistem kawasan konservasi alam yang sangat beragam dan strategis dalam menjaga kelestarian keanekaragaman hayati tropika. Dengan lebih dari 550 kawasan konservasi yang tersebar di seluruh nusantara, mencakup sekitar 27 juta hektar habitat alami, Indonesia menunjukkan komitmen kuat terhadap pelestarian alam. Kawasan-kawasan ini meliputi taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, dan taman wisata alam yang menjadi rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna endemik. Contohnya, Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur melindungi komodo, spesies kadal terbesar di dunia, sementara Taman Nasional Leuser di Sumatera menjadi benteng terakhir bagi orangutan Sumatera. Taman Nasional Lorentz di Papua, sebagai situs warisan dunia UNESCO, menjaga ekosistem pegunungan tropis yang unik.

Salah satu permata konservasi di Indonesia adalah Taman Nasional Gunung Maras di Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Ditetapkan sebagai taman nasional melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.576/MENLHK/SETJEN/PLA.2/7/2016 tanggal 27 Juli 2016, kawasan seluas 16.806,91 hektar ini merupakan sumber air vital bagi masyarakat di delapan desa sekitar, termasuk Desa Beruba, Bukit Layang, Mabat, Bakam, Dalil, Tiang Tara, Banyuasin, dan Pangkal Nyiur. Taman Nasional Gunung Maras memiliki keanekaragaman hayati yang kaya, dengan flora seperti meranti (Shorea sp.), ketapang (Terminalia catappa), bungur (Lagerstroemia speciosa), pelawan merah (Tristaniopsis merguensis), dan anggrek merpati (Dendrobium crumenatum). Selain itu, kawasan ini memiliki potensi ekowisata petualangan, khususnya pendakian, dengan lanskap yang menawarkan keindahan alam dan nilai budaya dari masyarakat adat seperti Suku Maras, Mapur, dan Erabik.

Ancaman Lingkungan dan Strategi Pelestarian Taman Nasional Gunung Maras

Meskipun Taman Nasional Gunung Maras memiliki peran penting dalam konservasi alam, kawasan ini menghadapi tantangan serius seperti deforestasi akibat perkebunan sawit dan penambangan timah ilegal, serta kerusakan ekosistem mangrove di Teluk Kelabat Dalam yang menjadi penyangga taman nasional. Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, Suku Maras telah berjuang melindungi wilayah adat seluas 7.737 hektar dari ancaman perkebunan sawit dan penambangan timah, termasuk melalui penolakan terhadap perusahaan seperti PT Gemilang Cahaya Mentari pada 2012. Kerusakan mangrove akibat tumpahan minyak pada 1970-an dan aktivitas penambangan liar di Sungai Primping juga menjadi ancaman nyata.

Pemerintah, melalui Balai KSDA Sumatera Selatan, terus memperkuat pengelolaan Taman Nasional Gunung Maras dengan rencana pembentukan UPT Taman Nasional Gunung Maras. Upaya pelestarian meliputi restorasi mangrove seluas 365 hektar di desa-desa sekitar seperti Pangkal Niur, Riding Panjang, Berbura, dan Tuik, dengan fokus pada penanaman spesies perepat untuk mencegah kerusakan akibat teripit. Selain itu, pemerintah memanfaatkan teknologi monitoring satelit untuk mendeteksi aktivitas ilegal seperti perambahan dan penambangan, serta meningkatkan kapasitas petugas lapangan melalui pelatihan.

Kolaborasi dengan masyarakat lokal menjadi kunci keberhasilan. Program pemberdayaan masyarakat, seperti pelatihan ekowisata dan pendidikan lingkungan, telah diterapkan untuk mengurangi ketergantungan pada eksploitasi sumber daya alam. Aturan adat, seperti larangan mandi tanpa pakaian, bersiul, atau membawa telur bebek saat pendakian, juga diintegrasikan untuk menjaga nilai budaya dan kelestarian lingkungan. Ekowisata petualangan di Gunung Maras, dengan lanskap bukit dan hutan tropis, menawarkan peluang ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat lokal sekaligus mendukung pelestarian alam.

Pemerintah Indonesia terus mendorong sinergi antara pemerintah, LSM, akademisi, dan masyarakat lokal untuk menjaga warisan alam seperti Taman Nasional Gunung Maras. Dengan pendekatan berbasis bukti dan teknologi modern, upaya konservasi alam di Indonesia diharapkan dapat mengatasi tantangan deforestasi, perambahan, dan tekanan pembangunan, sekaligus memastikan keberlanjutan ekosistem untuk generasi mendatang.